SESANTI SUMARAH

SESANTI SUMARAH
Luhuring bangsamu mbenjang kawasesa Iman suci

Sabtu, 02 Maret 2024

Ilmu Sumarah berkembang sesuai kebutuhan lokasi, tradisi dan jamannya

Apa yang penulis sampaikan di sini memang sangat terbatas sesuai dengan segala yang penulis lihat, dengar, dan baca serta yang penulis rasakan dan alami secara pribadi maupun secara bersama dengan warga/kadang lain dalam sujud jama'ah, selama mempelajari Ilmu ini sejak awal dari tahun 1967. Oleh karena itu kalau ada pembaca yang menganggap hal ini terlalu simpel, terlalu sepele, atau terlalu sederhana, penulis sangat menyadari hal itu, untuk itu penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada para pembaca di mana saja dan kapan saja.

Penulis merasa perlu untuk menyampaikan segala yang penulis tahu tentang Ilmu Sumarah, pertama sekedar untuk memenuhi kemauan hati karena hobi merangkai kata walaupun bukan ahlinya, dan yang kedua penulis merasa terdorong untuk menyampaikan segala ihwal yang penulis ketahui tentang Ilmu Sumarah ini kepada siapa saja yang sekiranya sudi untuk membacanya, siapa tahu ada yang sejalan pola pikirnya sehingga bisa terjalin komunikasi yang harmonis, yang apabila bisa berkembang secara kwantitas kemungkinan bisa terbangun suatu komunitas belajar yang itu akan memungkinkan meningkatnya kualitas ilmu yang kita miliki bersama utamanya dalam mempelajari Ilmu Sumarah ini.

Penulis belajar Ilmu Sumarah secara de facto mulai tahun 1965, sejak tinggal serumah dengan ayah kandung penulis yang saat itu telah aktif diorganisasi Paguyuban Sumarah di kota Ngawi, karena gemar membaca dan secara naluri menyukai hal-hal yang berbau kebatinan/kerohanian, secara tidak sadar lembar-lembar Wewarah Sumarah yang ada saat itu ikut terbaca. Secara de yure (melalui be'atan di tempat Bu Wondo sebelah barat Masjid Raya Ngawi)) penulis belajar Ilmu Sumarah dimulai bulan Agustus 1967, dilanjutkan acara rutin latihan sujud berjama'ah seminggu sekali baik di Bu Wondo atau di Pak Tjokro di jalan Hasanudin.

Sekitar 2 tahun penulis mempelajari Ilmu Sumarah di kota Ngawi, selain berlatih sujud Sumarah di rumah (kebetulan rumah orang tua saya di Jl. Panglima Sudirman no.37 Ngawi saat itu), juga pernah berlatih sujud di rumah pak Cokro atau juga di pak Dwijo kedua beliau bertempat tinggal di jalan Hasanudin, juga pernah menjalani sujud bersama ayah sampai ke daerah Kedunggalar. Sedikit paham akan proses Sujud Sumarah karena sering berlatih, pada suatu saat kami para anggota muda terpaksa melakukan sujud jama'ah sendiri tanpa dibimbing Pamong, karena sang Pamong rupanya ada kesibukan sehingga tidak bisa hadir. Imam sujud diserahkan penulis, dan terjadilah pengalaman pertama penulis meng-Imam-i atau memimpin jalannya Sujud jama'ah Sumarah.
Beberapa menit telah berlalu, terasa agaknya sujud sudah selesai, namun karena ada perasaan nikmat yang sayang jika diputus, penulis diam-diam melanjutkan saja pelaksanaan sujud itu. Ternyata Tuhan berkehendak lain, secara tiba-tiba kaki dan tangan penulis diserang gigitan nyamuk yang cukup banyak sehingga terasa gatal semua. Sujud jama'ah pun penulis akhiri. Anehnya, rekan-rekan lain yang ikut sujud saat itu semua menyatakan hal yang sama, pertama sujud itu tadi sebenarnya sudah selesai tapi koq masih diteruskan, kedua, perihal serangan nyamuk yang begitu banyak secara tiba-tiba semuanya merasa mengalami.

Tahun 1969 penulis mulai meninggalkan kediaman orang tua dan mendarat di kota Surabaya untuk mengadu nasib. Perjalanan awal yang memilukan sekaligus memalukan, memacu langkah di kehidupan ini menjadi lebih ikhlas, lebih berani dengan resiko, dan itu dilakukan setelah penulis menjalani pertobatan mendalam di tengah makam luas di wilayah Putat Jaya.
Karier sebagai Guru swasta dimulai di awal tahun 1971, dan setelah kemapanan agak terkondisi penulis berusaha aktif lagi berhimpun mengikuti Sujud jama'ah Sumarah di Jl.Pasar Besar no.37 Surabaya yang waktu itu sebagai tempat latihan sujud Sumarah sekaligus sekretariat Cabang Paguyuban Sumarah di Surabaya.
Di tempat ini penulis merasakan adanya perbedaan dengan sistem dan sikap-sikap ritual Sujud Sumarah. Di kota Ngawi penulis mengenal adanya palenggahan sujud di Janaloka (Betal Mukaddas), dan ini berlaku terutama bagi pemula. Apabila saatnya sudah dianggap cukup  (menurut sang Pamong dirasa cukup matang sebagai Kanoman), barulah palenggahan sujudnya dinaikkan ke Sanubari (Endraloka) Di Surabaya hal semacam ini tidak berlaku,  Di Ngawi sikap sujud sangat menjaga kesopanan, baik itu duduk di lantai maupun di kursi, datang di tempat latihan langsung sujud sendiri (sebagai awalan) tanpa berbicara, tanpa bergerak. Barulah setelah sang Pamong menganggap Sujud pembukaan selesai, semuanya bisa santai berbicara, itupun sebatas hal-hal yang berhubungan dengan pengalaman sujud tadi.

Sedangkan di Surabaya agak berbeda, duduk bisa seenaknya bahkan ada yang terkesan norak (lutut disilangkan, terkadang juga kakinya di goyang-goyang), menepuk nyamuk dan menggaruk gigitan nyamuk adalah biasa, dan bicara bisa apa saja di awal pertemuan merupakan hal yang lazim, sampai nantinya berhenti sendiri. Saat itulah mereka menyatakan bahwa Tuntunan sujud dari Tuhan sudah datang. Konsentrasi (palenggahan sujud) langsung di Sanubari (wilayah Endraloka / Betal Muharam).

Beda lagi di wilayah Gresik. Pertama kali penulis mengikuti Sujud jama'ah Sumarah di Gresik di rumah bapak Ilham di desa Sidorukun. Pada waktu itu sekitar tahun 1975-an. Saat sujud, para jama'ah duduk bersaf menghadap ke Barat, sedangkan Imam/Pamong duduk di paling belakang. Sang Pamong dalam memberikan aba-aba dengan suara keras dan setengah ditekan sehingga agak bergetar. Kalau tidak salah tempat konsentrasi sujudnya (palenggahan sujud) ada di Janaloka (Betal Mukaddas). Sampai saat ini (th 2024) perihal semacam itu masih berlaku dikalangan warga Gresik. Penulis memaklumi kondisi seperti itu terjadi karena Gresik adalah kota Wali.

Perbedaan metode atau sistem sujud Sumarah juga berbeda saat Bapak Suwondo (alm.) tokoh Kratonan Surakarta melayani saudara-saudara kita warga asing dari berbagai negara. Di sana penjelasan proses perjalanan sujud Sumarah lebih dituntut rasional, tidak dogmatis dan harus banyak berbicara dan berdialog dengan jema'at , baik saat persiapan maupun saat pelaksanaan sujud.

Perbedaan juga penulis alami bersama pamong-pamong yang berbeda satu sama lain. Misalnya pada saat sujud yang di Imam-i Ayah penulis, Ibu penulis, Bu Wondo (pamong Be'atan), Bp. Suhardo, Bp. Suwondo (Surakarta), Bp. Arymurti, Ibu Roestiyah (putri P. Sukinohartono), Bp. Sudiro Sadja.  dll.



Selasa, 23 Mei 2023

Perwujudan Ilmu Sumarah

    Diakui, penulis bukanlah seorang ahli dalam menjabarkan suatu masalah, apalagi yang berhubungan dengan hal-hal yang berbau spiritual, hanya saja karena ingin ikut serta meramaikan suasana hiruk pikuknya mengeluarkan pendapat berdasar pengetahuan dan pengalaman yang pernah penulis terima dan alami, tentunya yang relevan dengan perkembangan masa kini, maka dengan tulisan inilah penulis berupaya untuk menyampaikan sesuatu hal yang mudah-mudahan ada manfaatnya bagi masyarakat utamanya yang suka mendengarkan hal-hal yang bernuansa kerokhanian yang ingin mengenal Ilmu Sumarah..

    Ilmu Sumarah, pertama kali diturunkan Tuhan YME lewat Bapak Soekino Hartono seorang bersuku Jawa yang setelah melalui proses tawar menawar dengan Tuhan YME karena merasa sangat tidak mampu, pada akhirnya mau melaksanakan perintah (Dhawuh) Tuhan YME dalam rangka "Membulatkan Iman (keyakinan akan adanya Allah/Tuhan YME)" bagi bangsa Indonesia ini yang saat itu dijanjikan akan diberi kemerdekaan. Pelaksanaan perintah itu dijalankan dengan syarat Pak Kino (sebutan bagi Bp. Soekino Hartono) hanya bertugas sebagai Warono (corong penyampai lewat lesan) sedangkan seluruh Ilmu/Ajaran/Tuntunan mutlak dari Allah Tuhan YME. Dari syarat ini pula, maka secara hakekat pembelajaran di Sumarah tidak dikenal istilah Guru dan Murid. Yang lebih senior bisa diserahi sebagai Pamong untuk sekedar memberikan pengarahan dalam praktek Sujud, sedangkan Ilmu Sumarahnya dari Tuhan YME sendiri (melalui Khakiki), yang terkadang tersalurkan lewat sang Pamong yang saat itu juga berfungsi sebagai Warono

Pada awalnya Ilmu itu diturunkan tahap demi tahap, secara berkesinambungan lewat penuturan Pak Kino pada setiap pertemuan latihan sujud Sumarah bersama para peminat pada waktu itu. Ternyata tugas sebagai Warono itu tidak berhenti pada Pak Kino saja. Awalnya petunjuk bahwa siapa saja bisa berfungsi sebagai Warono atas kehendak Tuhan YME , hal itu ada dalam wewarah Pak Kino sendiri Dalam perkembangan berikutnya sebutan Warono ini juga pernah disandang Pak Suhardo, Bp. dr. Soerono, Pak Arymurti dan lain-lain. Hanya saja secara mayoritas yang dianggap sebagai warono besar sampai saat ini  hanya Pak Kino dan Pak Arymurti yang sempat wewarah/ajarannya dibukukan oleh DPP Paguyuban Sumarah. Ternyata isi kedua buku tersebut sangat berbeda baik dalam sistem penjelasan, struktur maupun cara mempraktekkannya, syukurlah hal tersebut tidak menimbulkan akibat fatal misalnya terjadinya perpecahan diantara warga apalagi sampai perpecahan organisasi seperti terjadi pada beberapa paguyuban penghayat kepercayaan dan juga pada agama. Perbedaan pendapat dianggap hal yang biasa, mungkin karena di hati warga sudah tertanam dalam bunyi sesanggeman Sumarah nomor 6 ......ngaosi ing sesami mboten nacad kawruhing liyan...... (menghargai sesama tidak mencela pendapat/pengetahuan orang lain).

Selain itu ada juga istilah "Ilmu Sumarah iku nut jaman kelakone", artinya Ilmu Sumarah itu bukan Ilmu yang harga mati (terlalu baku) seperti terdapat dalam ayat-ayat ataupun Surat-surat di Kitab Suci. Ilmu/petunjuk yang diturunkan Tuhan lewat Sumarah (disebut Ilmu Sumarah) bersifat temporer dan boleh dimaknai secara umum, secara kelompok bahkan secara pribadi, penyeragaman akan dan bisa terjadi tanpa paksaan, secara luwes didasarkan atas perkembangan kesadaran masing-masing. Sepanjang hal tersebut tidak mencelakai banyak orang bahkan pada kenyataannya bermanfaat bagi masyarakat umumnya, maka seharusnyalah kita menerima dan melaksanakan petunjuk/Dhawuh tersebut. Itulah sebabnya dalam Sesanggeman Sumarah nomor 9 tertulis : Mboten fanatik, namung pitados dhateng kasunyatan ingkang tundhonipun murakabi dhateng bebrayan umum. Artinya kurang lebih : Sanggup untuk tidak fanatik (merasa paling benar), hanya percaya pada hakekat kenyataan yang pada akhirnya bermanfaat bagi masyarakat umum.

Pada masa-masa awal di jaman Pak Kino berfungsi Warono, maka hampir semua tuntunan/ajaran yang tersalur lewat lesan beliau tentu berbentuk tembang (jenis Mocopat), dan ini bukan hasil karangan beliau yang kemudian harus dihafal oleh warga. Keluarnya tuntunan/ajaran/wewarah tersebut spontan dalam suasana Sujud Sumarah ing Allah, sambung menyambung dari satu bait ke bait-bait berikutnya, yang kemudian berganti jenis lagu (misalnya semula Kinanti kemudian berganti Pucung, berganti lagi Sinom atau lainnya), suatu hal yang tidak masuk akal, tapi itulah yang terjadi. Sebagian yang bisa tercatat antara tahun 1949 sampai 1968 telah dibukukan oleh DPP Paguyuban Sumarah dalam 790 halaman. Adapun pada jaman Pak Arymurti, semua Tuntunan/Ilmu yang lewat beliau disampaikan lewat ceramah, dan ini sesuai dengan pekerjaan beliau selaku Dosen.

Untuk dapatnya melihat contoh Wewarah yang lewat Pak Kino, pembaca bisa klik Di Sini


Sabtu, 18 Juni 2016

Ilmu Sumarah itu bukan Agama

      Menurut sejarahnya, wahyu Sumarah diturunkan pada bulan September 1935 adalah dalam rangka membulatkan Iman bangsa / manusia yang saat itu dinilai bocel (growak Jw.), dan tugas itu dibebankan khusus kepada pak Kino (R.Ng. Soekino Hartono). Akan tetapi karena pak Kino merasa tidak mempunyai kemampuan apa-apa dan sangat takut resiko, akhirnya setelah terjadi tawar-menawar (dengan Tuhan lewat Khakiqi), pak Kino hanya sanggup untuk menjadi Warono (corong), sedangkan seluruh tuntunan/ajaran sepenuhnya diserahkan kepada Tuhan YME semata-mata.
       Adapun bagaimana prosesnya sampai pak Kino dapat berkomunikasi dengan Tuhan YME (lewat Khakiqi) pada saat itu, yang paling tahu adalah pak Kino sendiri yang mengalami, dan untuk bisa berproses mencapai tingkat spiritual seperti itu pastinya pak Kino sudah menjalani laku spiritual dan perjuangan lahir batin yang memadai. Dengan mencermati sejarahnya pula kita mengetahui bahwa pak Kino selain menjalani laku seperti peninggalan leluhurnya, juga beliau sangat rajin mempelajari ilmu-ilmu kebatinan lainnya, bahkan setiap beliau mendengar ada guru ngelmu di mana saja , selalu beliau (bersama pak Hardo sebagai sahabatnya) berkenan untuk mendatangi dan berguru kepada mereka. Proses pengkajian ilmu-ilmu ini terlaksana semenjak pak Kino masih muda dan berlangsung sangat lama sampai akhirnya wahyu Sumarah tersebut diturunkan kepada beliau. Dengan demikian kesimpulannya, ilmu (kemampuan) termasuk metode ataupun tata cara yang digunakan oleh pak Kino untuk mencapai tingkat spiritual tinggi sampai bisa berkomunikasi langsung dengan Tuhan YME (melalui Khakiqi), rupanya telah dimiliki/dicapai pak Kino menjelang Wahyu Sumarah pertama kali diturunkan.
       Dan ilmu/kemampuan/metode ini pulalah kiranya yang pak Kino sebarkan/ajarkan pada awalnya kepada para handai taulan guna mendasari terbinanya pribadi yang siap menerima Ilmu Sumarah yang nantinya berguna untuk membangun Iman Bulat kepada Allah (Tuhan YME), termasuk pula tatacara membai'at anggota baru yang mengharuskan menghadap ke barat dengan membaca Syahadat Tunggal, yang ini diadopsi dari tatacara ketika beliau dan pak Hardo berguru pada Bp. Wignjo Supartono (salah satu guru spiritual pak Kino). Tatacara bai'at semacam itu pada saat ini sudah sangat sedikit yang melaksanakannya, bahkan ada sebagian pengurus di daerah yang meniadakan acara tersebut dengan berbagai alasan, termasuk pendapat bahwa yang membai'at itu adalah Tuhan sendiri.
      Dalam menjalankan ritual peribadatan, Sumarah tidak mengenal persyaratan maupun peralatan lahiriah sebagaimana keyakinan/agama lain misalnya himpunan atau hafalan do'a, kitab Suci, jenis atau warna pakaian, kiblat menghadap, wewangian, kemenyan, dupa, sesajian dan sebagainya, termasuk juga hari dan waktu menjalankan ritual. Semuanya bebas, kalaupun diatur bersama ya sesuai kesepakatan. Hal-hal yang menyangkut tatacara dan peraturan berkumpul, waktunya, susunan acara pertemuannya dsb. diatur secara organisasi dan bersifat temporer sesuai situasi kondisi daerahnya. Sangat mungkin satu daerah berbeda dengan daerah lain, satu komunitas berbeda dengan komunitas lainnya baik bahasanya maupun sistem ritualnya. Yang sama hanya persaksian rasa/perasaan di dalam sujud (ritual) tersebut.
        Sampai detik penulisan naskah ini, yang namanya tata cara yang menyangkut peristiwa kelahiran, khitan atau mungkin pangur (meratakan gigi) kalau ada, pernikahan, ulang tahun, sampai tata cara merawat jenazah, semuanya diserahkan kepada hasil kesepakatan bersama, terutama keluarga dan masyarakat sekitar. Di Paguyuban Sumarah tidak pernah ada cara-cara khusus yang diadakan untuk acara semacam itu. Kalaupun ada yang mengajak sujud bersama, hal itu hanya tambahan pada acara yang berlangsung.
       Pada dasarnya Ilmu Sumarah itu adalah ilmu untuk membangun rasa Iman bulat kepada Allah (Tuhan YME). Iman disini diartikan sebagai keyakinan akan adanya Allah (Tuhan YME) dengan segala sifat-sifat Maha-Nya, dan sadar bahwa kita umat manusia hanya hamba Tuhan, sebagian kecil dari ciptaanNya. Kita sekedar menjalani apa yang menjadi kehendak-Nya. Oleh karena itu maka hampir di setiap pertemuan warga Sumarah isinya hanyalah belajar Sujud Sumarah yang sepenuhnya berupa olah rohani (kejiwaan/spiritual). Kalaupun ada pertemuan yang bersifat organisatoris, itupun proses dan hasilnya harus dipersaksikan secara rohani.
        Dalam pelaksanaan ritual Sujud Sumarah sama sekali tidak dikenal atau diperkenalkan hafalan do'a-do'a atau mantera dalam bahasa apapun, tidak diperlukan pakaian khusus, tidak ada sikap ataupun gerakan tertentu, tidak dibutuhkan wewangian, dupa, kemenyan, sesajian/sajen, cara dan arah menghadap tertentu dan sebagainya. Semua apa adanya.
        Di dalam praktek pencapaian tahapan Ilmu Sumarah, tidak ada sistem guru - murid, semua adalah murid, gurunya hanya Tuhan YME sendiri, medianya terserah kehendak Tuhan, bisa Khaqiqi (kalau untuk pribadi), bisa Warono atau bisa yang lain. Tidak dibedakan antara senior dan yunior, antara pejabat dan rakyat, antara yang kaya dan yang miskin dst. Tidak dibedakan antara yang beragama apapun, juga yang mungkin mengaku tidak beragama (asal mengakui adanya Tuhan YME), dari etnis apapun, Semuanya benar-benar sama dihadapan Tuhan. Sebagai Imam/pendamping sujud biasanya diserahkan kepada senior yang lebih berpengalaman dalam laku sujud.
      Di sinilah sebabnya penulis menyatakan bahwa Sumarah itu bukan agama dan sudah pasti tidak akan pernah menjadi agama. Untuk mempelajari Ilmu Sumarah tidak dianjurkan/apalagi diharuskan untuk pindah agama atau melepas agamanya.
        Sekedar untuk menambah wawasan para pembaca dalam mencoba memahami perihal paguyuban Sumarah berkaitan dengan hal-hal lainnya, penulis menyajikan serangkaian vidio yang mengungkapkan hasil wawancara antara seorang akademisi dari ITS (sebagai penanya) dengan penulis sebagai pemberi jawaban. Wawancara ini terdiri dari 5 session yaitu (silahkan klik untuk memutarnya) :
Seluruh dialog wawancara diselenggarakan tanpa kelengkapan teks tertulis. Seluruhnya digelar secara sederhana berbentuk tanya jawab seperti obrolan biasa yang santai tapi sampai. Untuk segala kekurangannya penulis hanya bisa mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada sidang pembaca.
Rahayu

Featured Post

Perwujudan Ilmu Sumarah

     Diakui, penulis bukanlah seorang ahli dalam menjabarkan suatu masalah, apalagi yang berhubungan dengan hal-hal yang berbau spiritual, h...